Sebelum dan sesudah arak-arakan upacara adat Nyeser, dengan memanggil Amot, untuk menjaga hasil panen serta mengusir energi jelek di desa.
Gerimis menyambut kedatangan saya dan kawan-kawan memasuki Dusun Syam. Dengan hangat kami diajak untuk duduk bersama di teras Gereja Santo Lukas, paroki Batang Tarang, setelah sebelumnya Pak Gaya bersama kepala desa merapalkan mantra sambutan dan menyuguhkan seteguk minuman selamat datang pada kami.
Tak hanya itu, rupanya Pak Gaya tahu betul dan sempat menyaksikan lirikan mata saya yang tertuju pada secangkir kopi yang diseruput oleh kepala desa. Langsung saja ia menawarkan pada saya kopi lokal hangat beserta kudapan nya siang itu sembari menanti datangnya koloni Amot. Dengan bercampur bahasa lokal, Pak Gaya berbisik pada saya bahwa ia akan melanjutkan obrolan setelah ritual Nyeser ini selesai sore nanti.
Mulai dari teras depan gereja, sembari berkeliling hingga duduk santai di bawah pohon yang memiliki akar yang besar nan kuat yang telah berusia ratusan tahun, kami bertukar kisah. Berdiskusi banyak hal tentang ritual adat yang sudah bertahun-tahun digelar, menyimak rangkaian praktik kearifan lokal suku Dayak Taba, semangat taat generasi muda dalam ibadah, upaya pelestarian lingkungan serta mata pencaharian dan keseharian penduduk. Perbincangan ditutup tetiba sebagian warga mengundang saya untuk bergabung ketika Pak Gaya dipanggil untuk memimpin tugas lain yang tak kalah penting, yakni: Menyeruput sepanci kopi panas selanjutnya menjelang terbenamnya matahari , lengkap bersama kudapan dan sejenis arak lokal.
Teriakan, rengekan, ajakan, serta gelak tawa bocah lokal negeri ini selalu menyuguhkan keriangan dan kebahagiaan tersendiri ketika menjelajah. Walau beda kekhasan, namun menyiratkan ruh yang sama: semangat dan harapan.
Tumbuh bersama kearifan, lebur mempelajari hingga mempraktikkannya ketika dewasa. Kebanggaan dan kebebasan dalam bermain. Tak melunturkan ajaran, tutur pinutur dan tradisi para orang tua. Termasuk turut pula antusias dalam ritual adat daerahnya. Seperti keceriaan dan semangat anak-anak ini dalam arak-arakan ritual Amot di sini.
Hingga diujung perbincangan saya bertanya pada mereka:
“Kalian melihat arak-arakan Amot takut ga?”
Kompak mereka menggeleng, menandakan tidak takut pada wujud Amot. Namun salah satu dari mereka, Desi, 7tahun, menjawab lantang:
“Kami lebih takut melihat bapak yang itu!”
Seraya menunjuk rekan jurnalis saya Andry yang memotret kami, yang bertubuh gempal berambut kribo nanggung yang dihiasi brewok diwajahnya. Sebelas dua belas dengan Emmanuel Adebayor tatkala selesai berlatih mengangkat barbel di gym lokal binaan karang taruna ujung gang di kawasan sentra oleh-oleh kota Lomo, Togo.